Review Novel “Dilan, Dia adalah Dilanku Tahun 1990” Karya
Pidi Baiq
Penerbit: Mizan Media Utama
Tahun Terbit: 2015
Membaca buku ini sekaligus juga adalah perkenalan pertama
saya dengan karya-karya Pidi Baiq. Jauh sebelum ini, teman saya sudah sering
menyebut, meng-quote kutipan bukunya, atau kerap juga saya temukan tweet ulang
kicauan penulis unik ini berseliweran di timeline Twitter saya. Hingga suatu
ketika, seorang teman yang lain menyebut buku ini ketika saya bertanya
rekomendasi buku yang ringan tapi menyenangkan di status FB saya.
Sebetulnya ada beberapa rekomendasi. Tapi, hari itu, di toko
buku dekat rumah saya, beberapa buku yang direkomendasikan ternyata sedang
kosong stoknya (dan satu buku lagi serial detektif, yang sepertinya sedang
tidak cocok dengan mood saya),
jadilah saya membeli buku berjudul “Dilan, Dia adalah Dilanku Tahun 1990” yang
sudah ada di jajaran best seller
(padahal baru beberapa bulan terbit).
Bagian-bagian pertama berhasil membuat saya senyum-senyum
sendiri. Banyolan khas 90-an (rasanya ada sedikit gaya-gaya Lupus di situ), dan
dialog yang disusun dalam bahasa tutur khas Bandung memiliki kedekatan
tersendiri dengan saya yang pernah menghabiskan dua tahun (dari empat tahun
kuliah di Jatinangor) di Bandung. Dan karena settingan-nya adalah masa SMA,
saya jadi sedikit terhanyut dalam romantisme masa-masa silam. Maklum setelah
tujuh tahun menikah, saya lupa rasanya di-PDKT-in. Hihi.
“Dia lagi!” bisik Revi seperti ngomong sendiri.
Revi adalah teman sekelas, yang berdiri di sampingku.
“Siapa dia?” kutanya Revi.
“Dilan.”
“Oh.”
Itulah harinya. Hari aku tahu namanya.
Ya, Dilan, sesuai judulnya memang
menjadi tokoh utama dengan karakter yang kuat. Dia digambarkan dengan sosok
yang unik, cerdas, tulus dan jujur dengan caranya sendiri. Dilan selalu
berusaha membuat Milea, gadis yang dicintainya (yang juga menjadi penutur dalam
novel tersebut) merasa dicintai; dan memastikan bahwa dirinya baik-baik saja.
Dilan itu keren, dan bahwa dia digambarkan tidak sempurna di beberapa sisi
meningkatkan kekerenannya.
Seperti isi suratnya untuk Milea
di bawah ini, misalnya:
“Milea, kamu cantik. Tapi, aku belum mencintaimu. Enggak tahu kalau sore. Tunggu aja.”
Perempuan mana yang tidak akan
meleleh dengan secarik surat bertuliskan kata-kata tersebut? Perempuan mana
pula yang tidak akan merasa tersanjung jika ada lelaki yang rela berbuat apapun
demi mempertahankan harga diri perempuan yang dicintainya?
Saya rasa penokohan Dilan dan
gambaran kisah kasih Dilan dan Milea adalah kekuatan dari novel ini. Kekuatan
lainnya adalah gaya bahasa khas Pidi Baiq yang sejujurnya agak scattered, tidak sesuai gramatika pada
beberapa bagian, tapi berhasil dikemas dengan apik sehingga terasa cerdas dan
mengena.
Namun demikian, saya sempat
hendak berhenti membacanya karena alurnya menurut saya mudah ditebak sehingga
terasa flat terutama menjelang akhir,
serta kesulitan saya untuk menempatkan diri di sisi Milea (karena mungkin ter-distract dengan tokoh Kang Adi :p) dan
menebak karakteristik dirinya yang seakan terlalu flawless. Tapi, demi semangat menyelesaikan apa yang sudah saya mulai,
akhirnya khatam juga novel bercover Navy
blue ini.
Saya agak penasaran sama buku
keduanya, dan berharap Milea tidak menikah dengan Dilan, tapi dengan orang
lain. Mungkin Kang Adi (teuteup), atau Piyan yang menjadi sidekick-nya Dilan. Karena kalau menikahnya dengan Dilan, kisahnya
menjadi terlalu mainstream.
(Ditambah kalau ditinjau dari
judulnya “Dilan, Dia adalah Dilanku Tahun 1990”, maka probabilita “Dilan”-nya
Milea yang sekarang bukan “Dilan” yang itu, kan?)
At last,
Buat saya, novel ini nilainya 3 out of 5. Cocok untuk anak muda masa kini, generasi 90-an, dan yang ada di antaranya macam saya :D; yang menginginkan bacaan ringan di waktu senggang.